Monday, January 10, 2011

This keroncong ensamble is named "Lestari" (Lester), sounds ironic in the midst of the narrowness of Keroncong appreciation today, but at the same time radiates optimism to survive from the marginalized. May the name "Lester" became truly apparent to this heritage music in Sukabumi and in our homeland.


Orkes keroncong ini namanya "Lestari", terdengar ironis di tengah himpitan dan sempitnya ruang apresiasi keroncong saat ini, namun sekaligus memancarkan optimisme untuk tetap survive dari keterpinggirannya. Semoga nama "Lestari" menjadi benar benar nyata untuk musik warisan leluhur ini di Sukabumi dan di tanah air.





Still Waiting For The Sign (Kassaf Mashup)

 

Ace Of Base vs Sum 41 - Still Waiting For The Sign (Kassaf Mashup) from VJ BobbyG. on Vimeo.

Sunday, January 9, 2011

R.I.P SL-1200


Pertengahan Oktober 2010 lalu, produsen turntable Jepang, Panasonic, mengeluarkan pernyataan kepada Reporter Tokyo secara resmi menyatakan mereka akan menghentikan produksi 1200mk6 Technics turntable. Setelah bertahun-tahun dalam keraguan, akhirnya turun juga keputusan untuk mengakhiri perjalanan SL 1200 setelah 30 tahun yang menggairahkan. 

Siapa sih yang nggak puas dengan barang yang satu ini ? hmm...inget inget waktu saya jadi dj mobile disco
Pernyataan berikut dikeluarkan dari markas Panasonic kepada wartawan

Saturday, January 8, 2011

Vinyl & Gramophone


Video diatas embedded dari Youtube, untuk keterangan lebih detail visit 
http://www.britishpathe.com/record.php?id=10718


Sekitar tahun 60an, kecepatan 78 tidak lagi digunakan dalam produksi piringan hitam ,  hanya kecepatan 45 dan 33 1/3  yang sampai sekarang masih digunakan. Plat berukuran 30 cm dengan kecepatan 33 1/3 yang biasa disebut Long Play (LP), plat ukuran sedang 25 cm juga dengan kecepatan 33 1/3 masih termasuk Long Play tapi biasanya berisi 4 buah lagu di tiap sisinya, plat ukuran 18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 juga, berisi 1 buah lagu di tiap sisinya disebut Single Player dan yang berisi 2 buah lagu di tiap sisinya disebut Extended Player.
Ada beberapa alat untuk memutar piringan hitam, salah satunya adalah phonograph. Cara kerja piringan hitam sama saja disemua alat pemutarnya, yaitu dengan menggunakan stylus, yang berbentuk seperti jarum yang berada di pinggiran piringan hitam. Stylus itu berfungsi untuk mencatat simpangan gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras suara.
Dari segi fisik, piringan hitam besar dan agak berat, Beratnya kira-kira 90-200 gram. Intinya tidak praktis untuk membawa piringan hitam kemana-mana. Akan tetapi kelebihannya adalah piringan hitam tidak mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi selama platnya tidak baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang-orang. Para musisi pada tahun 1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di side A dan side B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu mereka lebih memilih membuat single. Jadi kalaupun mereka membuat album, album hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng. Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di Indonesia memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan hitam kurang terkenal di Indonesia.
Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah pengoperasiannya yang lebih mudah.
Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih banyak dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi idolanya, ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam. Lagipula rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama, seperti contohnya Curtis Mayfield misalnya, lebih banyak di piringan hitam. Selain itu nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam sekarang ini adalah kepuasan batin, gengsi, dan esensinya dalam mengoleksi barang.

 

George Clinton & Parliament Funkadelic Di JJF 2008


Bisa memotret idola pastilah membahagiakan, apalagi bisa share foto foto nya dengan kawan kawan disini.
George Clinton memang tidak begitu populer di Indonesia. Album albumnya sulit di dapat di toko toko kaset / CD, termasuk di kampung halaman tercinta Sukabumi. Adalah mimpi besar buat saya di tahun 80-90 an, untuk bisa nonton gigs nya, kecuali jika punya banyak uang untuk nonton di luar negeri.
2008 adalah tahun keberuntungan fans Clinton Indonesia. Tanpa disangka sangka Java Jazz Festival berhasil mendatangkan "Father of Funk" itu ke Jakarta. Maka, Meskipun formasinya sudah banyak berubah, dan tanpa Bootsy Collins pada bass, George Clinton & P Funk lah alasan terkuat saya nonton JJF 2008. Seperti mimpi bisa lihat hero saya sejak kecil ini, langsung di depan mata, di Indonesia pula. Bahkan ada sekelompok orang Turki dan Jordan yang sengaja datang ke JJF 2008 hanya untuk nonton Clinton, dan akhirnya mereka menjadi companion saya dalam histeria panggung.
Cukup sulit buat saya membagi konsentrasi antara memotret dan menyelam dalam interaksi funk a la Clinton dengan segala kebesarannya. Sempat terlarut dalam histeria dan lupa akan kamera, apalagi semua lagu yang tampil memaksa saya untuk ikut bernyanyi, membuat banyak momen foto yang terlewatkan. Meskipun gagal mengejar Clinton lebih dekat untuk bisa sekedar say hello atau berfoto bareng, tapi saya cukup puas bisa menyaksikan peristiwa penting dalam sejarah Funk Indonesia setelah James Brown. Senang sekali tak perlu jauh jauh untuk bisa nonton live pahlawan funk itu. Thank you Oom Peter.

George Clinton & Parliament Funkadelic Di JJF 2008


Bisa memotret idola pastilah membahagiakan, apalagi bisa share foto foto nya dengan kawan kawan disini.
George Clinton memang tidak begitu populer di Indonesia. Album albumnya sulit di dapat di toko toko kaset / CD, termasuk di kampung halaman tercinta Sukabumi. Adalah mimpi besar buat saya di tahun 80-90 an, untuk bisa nonton gigs nya, kecuali jika punya banyak uang untuk nonton di luar negeri.
2008 adalah tahun keberuntungan fans Clinton Indonesia. Tanpa disangka sangka Java Jazz Festival berhasil mendatangkan "Father of Funk" itu ke Jakarta. Maka, Meskipun formasinya sudah banyak berubah, dan tanpa Bootsy Collins pada bass, George Clinton & P Funk lah alasan terkuat saya nonton JJF 2008. Seperti mimpi bisa lihat hero saya sejak kecil ini, langsung di depan mata, di Indonesia pula. Bahkan ada sekelompok orang Turki dan Jordan yang sengaja datang ke JJF 2008 hanya untuk nonton Clinton, dan akhirnya mereka menjadi companion saya dalam histeria panggung.
Cukup sulit buat saya membagi konsentrasi antara memotret dan menyelam dalam interaksi funk a la Clinton dengan segala kebesarannya. Sempat terlarut dalam histeria dan lupa akan kamera, apalagi semua lagu yang tampil memaksa saya untuk ikut bernyanyi, membuat banyak momen foto yang terlewatkan. Meskipun gagal mengejar Clinton lebih dekat untuk bisa sekedar say hello atau berfoto bareng, tapi saya cukup puas bisa menyaksikan peristiwa penting dalam sejarah Funk Indonesia setelah James Brown. Senang sekali tak perlu jauh jauh untuk bisa nonton live pahlawan funk itu. Thank you Oom Peter.