Saturday, June 18, 2016

The Nekrophone Traces : Arsip, Manuskrip, Dokumentasi HOMICIDE



Dewasa ini komitmen seorang musisi atau grup musik untuk mendorong terjadinya perubahan sosial semakin langka. Satu di antaranya adalah Homicide. Dilihat dari peta musik, posisi Homicide memperkaya khazanah “musik alternatif” Indonesia khususnya mereka yang menyimpang dari musik arus utama (mainstream). Grup hiphop ini telah lama bubar namun masih menyimpan spirit perubahan yang kuat mengendap di bawah sadar para penggemarnya. s.14 artspace and library menilai bahwa riwayat dan reputasi Homicide layak dikaji sebagai sumber penelitian dalam ranah kebudayaan di tanah air.



Dalam pameran kali ini, s.14 atas kurasi Aminudin TH Siregar, menampilkan kronik perjalanan Homicide sebagai grup hiphop asal kota Bandung yang kental dengan lirik-lirik kritis tentang perubahan sosial, kejahatan dan penindasan terhadap kemanusiaan, anti kapitalisme, dan sorotan-sorotan yang tajam akan bahaya neoliberalisme dalam ekonomi global hari ini. Dibandingkan kualitas musikalitas yang lebih bisa diterima, lirik-lirik Homicide tidak hanya agitatif, tapi juga dikenal memiliki kekuatan diskursif sehingga memerlukan kecermatan tersendiri bagi para penggemarnya untuk bereaksi atau sekedar mengerti. Di puncak prestasi lirik, Homicide menduduki tempat istimewa. Oleh mereka, lirik secara sadar didorong guna menghasilkan efek penyadaran dalam sebuah proses perubahan sosial.

Tidak sedikit kaum intelektual menyadari bahwa seni harus membalikkan fungsi seni dari alat-alat ideologis menjadi alat kritis pembebasan manusia, refunction. Seni pasca auratik (seni yang telah kehilangan auranya) telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan ekonomis dan komersil, atau propaganda ideologis seraya memapankan penindasan-penindasan. Dewasa ini, seni pasca auratik, termasuk musik, telah menjadi komoditi dalam kebudayaan massa. Seni (musik) tidak lagi dihasilkan melalui pengalaman estetis, melainkan justru menjadi obyek manipulasi mekanisme pasar. Di realitas dunia musik Indonesia yang chaotic sekarang, “nilai guna” musik dilepaskan dan diganti dengan “nilai tukar”, hingga akibatnya, baik “musik serius” maupun “musik ringan” menjadi barang yang bisa dipertukarkan dan mengikis batas-batas hirarkis. Sepanjang kiprahnya, Homicide menyadari resiko dan paradoks yang mereka hadapi. Homicide menolak paham “musik sebagai musik” sepertihalnya “seni untuk seni” yang hanya mempertontonkan pemujaan berlebihan terhadap seni/musik sehingga justru dapat menyesatkan dan menutupi kebenaran.

Berdiri di Bandung dengan nama awal Verbal Homicide, grup ini awalnya diinisiasi oleh 3 orang rapper; Morgue Vanguard (Herry Sutresna), Sarkasz (Aszy Syamfizie) dan Punish (Adolf Triasmoro) dan satu DJ, Kassaf (Kiki Assaf) pada tahun 1994. Pada perjalanannya formasi terakhir Homicide adalah Morgue Vanguard, DJ-E (Ridwan Gunawan) dan Andre pada gitar sebelum membubarkan diri di tahun 2007. Dengan memperlihatkan koleksi poster, foto, video musik, manuskrip lirik, CD, kaos, vynil, dan cinderamata, pameran ini mengajak kita melihat cuplikan kontinuitas dan diskontinuitas sejarah grup ini di dalam peta perkembangan musik Bandung.

HOMICIDE

Untuk mengiringi dan melengkapi cara kita memahami pameran ini, s.14 akan menggelar diskusi dengan tema Musik dan Perubahan Sosial dengan nara sumber Homicide (Ucok, Aszi, Iwan), Taufiqrahman, Lingga Agung dan Indra Hikmawan a.k.a Papap. Dan akan digelar workshop untuk pelajar bersama Ucok Homicide dan Jay – seorang beatmakernya Eyefeelsix untuk memberikan pengenalan dasar mengonstruksi musik hiphop dengan metoda sampling. Dalam rangkaian ini pula, tim s.14 akan memberikan pengenalan dasar musik hiphop melalui gerak, kreasi dan terakhir, akan ada pemutaran film sejarah musik hiphop yang diseleksi sendiri oleh Ucok Homicide.

Agenda Program s.14 | Mei – Juni 2016

Pameran Retrospektif
The Nekrophone Traces : Arsip, Manuskrip, Dokumentasi HOMICIDE
31 Mei – 30 Juni 2016

Tidak ada seremoni pembukaan,
pameran dapat di apresiasi langsung pada jam buka Perpustakaan s.14;
Selasa – Sabtu, 11.00 – 17.00 WIB, Minggu & Senin TUTUP
Terbuka untuk UMUM dan GRATIS,

Artist Talk & Diskusi | 17 – 24 Juni 2016
Musik & Perubahan Sosial
17 Juni 2016 | Indra Hikmawan & Lingga Agung
18 Juni 2016 | Homicide (Ucok, Aszi, Iwan) & Taufiqrahman
24 Juni 2016 | Linggo & Ucok Homicide

Kehadiran publik untuk diskusi ini dengan by RSVP, karena ruang yang terbatas, diharapkan yang hadir memang untuk mereka yang benar-benar ingin mengikuti diskusi dari awal sampai akhir, Terbuka untuk UMUM & GRATIS.

Public Workshop | 24 – 30 Juni 2016 (tentative)
Lets HIP HOP! | workshop untuk Anak bersama s.14| pengenalan musik HipHop melalui Gerak & Kreasi
Lets Sample! | workshop untuk Pelajar bersama Ucok Homicide & Jay EyeFeelSix | pengenalan dasar kontstruksi music HipHop dengan metode sampling 
limited seat, workshop fee charge.

Film Screening | setiap Jumat, 15.30 – 17.30 WIB
Sejarah Kultur dan Estetika Hip Hop,
Film pilihan & koleksi Ucok Homicide
Terbuka untuk UMUM & GRATIS.

https://www.facebook.com/events/1102813883074489/

Hip Hop Homicide, Museum Kecil di Sudut Bandung

SENIN, 06 JUNI 2016 | 00:23 WIB

TEMPO.CO, Bandung - Deretan kaus band di tiang gantungan, poster-poster, kolase foto aksi panggung, merujuk ke sebuah nama grup musik hip hop, Homicide. Di ruang depan rumah seni S-14 di Jalan Sosiologi 14, Cigadung, Bandung, album-album kaset, lini masa dan personel Homicide, kumpulan naskah lirik lagu, serta perlengkapan seperti microphone, serta pemutar piringan hitam, ikut bercerita soal perjalanan kelompok itu, yang telah membubarkan diri pada 2007. Sehelai foto merekam panggung terakhir Homicide di lapangan basket Gedung Olahraga Jalan Saparua Bandung pada Agustus 2007.


Berdiri di Bandung dengan nama awal Verbal Homicide, grup ini dibentuk oleh tiga orang penyanyi musik rap (rapper) pada 1994. Mereka adalah Morgue Vanguard alias Ucok yang bernama asli Herry Sutresna, Sarkasz (Aszy Syamfizie), Punish (Adolf Triasmoro), dan seorang disc jockey (DJ) bernama Kassaf (Kiki Assaf). Adapun formasi menjelang bubar adalah Ucok Homicide, DJ-E (Ridwan Gunawan), dan Andre pada gitar.


Bagi sebagian penggemarnya, Homicide merupakan kelompok anomali yang lebih dikenal di alur musik hardcore atau punk underground daripada di lintasan jalur hip hop. Lagu-lagu mereka dulu hanya beredar di kalangan terbatas. Lirik lugas dan galak dalam bahasa Inggris dan Indonesia menjadi ciri Homicide.


Misalnya, pada penggalan lagu “Tantang Tirani”; demi semua momen heroik yang tak pernah tercatat dalam tanggal/ biarkan mereka lafal semua peringatan yang mereka hafal/ setiap ayat pasal karet pertahanan para tiran berpangkal/ kebebasan yang datang saat kau tak memiliki lagi harapan/ saat tak ada opsi tersisa selain berdiri menantang para tiran/ saat momen terhidup dalam hidupmu adalah memasang badan di tengah medan/ kawan, mana kepalan kalian!


Selama 13 tahun, Homicide menghasilkan kompilasi karya pada album, seperti The Nekrophone Dayz, Illsurrekshun, Godzkilla Necronometry, juga Barisan Nisan. Sejumlah arsip, manuskrip, dan dokumentasi kelompok musik itu kini tengah ditampilkan ruang seni S-14 dalam pameran retrospektif berjudul “The Nekrophone Traces” pada 31 Mei-30 Juni 2016. “Di sini tempat pameran yang tidak mainstream,” kata kurator pameran Aminudin TH Siregar, Jumat, 3 Juni 2016.


Homicide dinilai sebagai kelompok musik yang langka, yang menjadi salah satu pendorong terjadinya perubahan sosial. Selain memperkaya dunia musik alternatif di Indonesia, semangat perubahan sosial dinilai masih kuat mengendap di penggemarnya. Riwayat dan kiprah Homicide pun layak dikaji sebagai sumber penelitian dalam ranah kebudayaan di Tanah Air. “Oleh mereka, lirik secara sadar didorong untuk menghasilkan efek penyadaran dalam sebuah proses perubahan sosial,” ujar Aminudin.


Selain pameran, ada diskusi tentang musik dan perubahan sosial pada 17, 18, dan 24 Juni 2016, serta pelatihan musik hip hop, juga pemutaran film tiap Jumat sore mengenai sejarah budaya dan estetika musik hip hop. Pada Jumat perdana, 3 Juni 2016, film berjudul Style Wars (1983) ditayangkan. Sekitar 50 orang penonton menyesaki ruangan tengah.


Film dokumenter besutan sutradara Tony Silver tersebut menyoroti fenomena grafiti di New York, Amerika Serikat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Grafiti yang kemudian terkait dengan tarian break dance serta hip hop kemudian dijadikan generasi muda kota itu sebagai ekspresi individu, juga suara kelompok masyarakat tertentu. Menyasar kereta-kereta yang melintasi kota, grafiti mengubah wajah kota hingga ditentang pihak lain dan dilarang petugas keamanan. Grafiti juga menjadi semacam alat untuk berkompetisi di jalanan.


Menurut Ucok Homicide, film itu ketika beredar sangat berpengaruh luas dan menginspirasi pemuda di Indonesia. “Di Bandung saya harus antre lama untuk menyewa videonya,” katanya saat diskusi seusai pemutaran film. Tarian break dance bagi pemuda 1980-an juga berkesan kuat hingga beberapa judul film Indonesia ikut menampilkannya dengan sebutan tari kejang.


Adapun hip hop, ujar Ucok, baru muncul sekitar 1993, yang memadukan unsur musik rap, pemakaian disc jockey, serta elemen coretan grafiti. Pada 2000-an di Bandung, misalnya, grafiti yang tak terlalu berkembang seperti musik rap dan hip hop, tiba-tiba melesat pada 2005-2006. “Mungkin karena anak-anak sekarang sudah kaya,” katanya. Dulu, untuk membuat grafiti, diperlukan biaya cukup mahal untuk membeli kaleng cat semprot.


Sementara perkembangan komunitas disc jockey stagnan, komunitas penikmat musik hip hop dan rap kini meluas di berbagai kota, tak lagi hanya di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta.


ANWAR SISWADI