Hip Hop Homicide, Museum Kecil di Sudut Bandung
SENIN, 06 JUNI 2016 | 00:23 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Deretan kaus band di tiang gantungan, poster-poster, kolase foto aksi panggung, merujuk ke sebuah nama grup musik hip hop, Homicide. Di ruang depan rumah seni S-14 di Jalan Sosiologi 14, Cigadung, Bandung, album-album kaset, lini masa dan personel Homicide, kumpulan naskah lirik lagu, serta perlengkapan seperti microphone, serta pemutar piringan hitam, ikut bercerita soal perjalanan kelompok itu, yang telah membubarkan diri pada 2007. Sehelai foto merekam panggung terakhir Homicide di lapangan basket Gedung Olahraga Jalan Saparua Bandung pada Agustus 2007.
Berdiri di Bandung dengan nama awal Verbal Homicide, grup ini dibentuk oleh tiga orang penyanyi musik rap (rapper) pada 1994. Mereka adalah Morgue Vanguard alias Ucok yang bernama asli Herry Sutresna, Sarkasz (Aszy Syamfizie), Punish (Adolf Triasmoro), dan seorang disc jockey (DJ) bernama Kassaf (Kiki Assaf). Adapun formasi menjelang bubar adalah Ucok Homicide, DJ-E (Ridwan Gunawan), dan Andre pada gitar.
Bagi sebagian penggemarnya, Homicide merupakan kelompok anomali yang lebih dikenal di alur musik hardcore atau punk underground daripada di lintasan jalur hip hop. Lagu-lagu mereka dulu hanya beredar di kalangan terbatas. Lirik lugas dan galak dalam bahasa Inggris dan Indonesia menjadi ciri Homicide.
Misalnya, pada penggalan lagu “Tantang Tirani”; demi semua momen heroik yang tak pernah tercatat dalam tanggal/ biarkan mereka lafal semua peringatan yang mereka hafal/ setiap ayat pasal karet pertahanan para tiran berpangkal/ kebebasan yang datang saat kau tak memiliki lagi harapan/ saat tak ada opsi tersisa selain berdiri menantang para tiran/ saat momen terhidup dalam hidupmu adalah memasang badan di tengah medan/ kawan, mana kepalan kalian!
Selama 13 tahun, Homicide menghasilkan kompilasi karya pada album, seperti The Nekrophone Dayz, Illsurrekshun, Godzkilla Necronometry, juga Barisan Nisan. Sejumlah arsip, manuskrip, dan dokumentasi kelompok musik itu kini tengah ditampilkan ruang seni S-14 dalam pameran retrospektif berjudul “The Nekrophone Traces” pada 31 Mei-30 Juni 2016. “Di sini tempat pameran yang tidak mainstream,” kata kurator pameran Aminudin TH Siregar, Jumat, 3 Juni 2016.
Homicide dinilai sebagai kelompok musik yang langka, yang menjadi salah satu pendorong terjadinya perubahan sosial. Selain memperkaya dunia musik alternatif di Indonesia, semangat perubahan sosial dinilai masih kuat mengendap di penggemarnya. Riwayat dan kiprah Homicide pun layak dikaji sebagai sumber penelitian dalam ranah kebudayaan di Tanah Air. “Oleh mereka, lirik secara sadar didorong untuk menghasilkan efek penyadaran dalam sebuah proses perubahan sosial,” ujar Aminudin.
Selain pameran, ada diskusi tentang musik dan perubahan sosial pada 17, 18, dan 24 Juni 2016, serta pelatihan musik hip hop, juga pemutaran film tiap Jumat sore mengenai sejarah budaya dan estetika musik hip hop. Pada Jumat perdana, 3 Juni 2016, film berjudul Style Wars (1983) ditayangkan. Sekitar 50 orang penonton menyesaki ruangan tengah.
Film dokumenter besutan sutradara Tony Silver tersebut menyoroti fenomena grafiti di New York, Amerika Serikat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Grafiti yang kemudian terkait dengan tarian break dance serta hip hop kemudian dijadikan generasi muda kota itu sebagai ekspresi individu, juga suara kelompok masyarakat tertentu. Menyasar kereta-kereta yang melintasi kota, grafiti mengubah wajah kota hingga ditentang pihak lain dan dilarang petugas keamanan. Grafiti juga menjadi semacam alat untuk berkompetisi di jalanan.
Menurut Ucok Homicide, film itu ketika beredar sangat berpengaruh luas dan menginspirasi pemuda di Indonesia. “Di Bandung saya harus antre lama untuk menyewa videonya,” katanya saat diskusi seusai pemutaran film. Tarian break dance bagi pemuda 1980-an juga berkesan kuat hingga beberapa judul film Indonesia ikut menampilkannya dengan sebutan tari kejang.
Adapun hip hop, ujar Ucok, baru muncul sekitar 1993, yang memadukan unsur musik rap, pemakaian disc jockey, serta elemen coretan grafiti. Pada 2000-an di Bandung, misalnya, grafiti yang tak terlalu berkembang seperti musik rap dan hip hop, tiba-tiba melesat pada 2005-2006. “Mungkin karena anak-anak sekarang sudah kaya,” katanya. Dulu, untuk membuat grafiti, diperlukan biaya cukup mahal untuk membeli kaleng cat semprot.
Sementara perkembangan komunitas disc jockey stagnan, komunitas penikmat musik hip hop dan rap kini meluas di berbagai kota, tak lagi hanya di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta.
ANWAR SISWADI
No comments:
Post a Comment