Vinyl record - Definition
The vinyl record is a type of gramophone record, most popular from the 1950s to the 1990s, that was most commonly used for mass-produced recordings of music.
A vinyl gramophone or phonograph record consists of a disc of polyvinyl chloride plastic, engraved on both sides with a single concentric spiral groove in which a sapphire or diamond needle, stylus, is intended to run, from the outside edge towards the centre (though it should be noted that on a very small number of albums, like "Goodbye Blue and White" by Less Than Jake, a hidden track, or the entire side, will be played from the centre out).
While a 78 rpm record is brittle and relatively easily broken, both the LP 33⅓ rpm record and the 45 rpm single records are made from vinyl plastic which is flexible and unbreakable in normal use. 78s come in a variety of sizes, the most common being 10 inch (25 cm) and 12 inch (30 cm) diameter, and these were originally sold in either paper or card covers, generally with a circular cutout allowing the record label to be seen. The Long-Playing records (LPs) usually come in a paper sleeve within a colour printed card jacket which also provides a track listing. 45 rpm singles and EPs (Extended Play) are of 7 inch (18 cm) diameter, the earlier copies being sold in paper covers. Grooves on a 78 rpm are much coarser than the LP and 45.
Piringan Hitam (Dalam Bahasa Indonesia)
Oleh: Kassaf
Piringan hitam mulai ada sejak tahun 1948. Dalam hitungan rpm (rotation per minute), ada tiga ukuran piringan hitam yaitu:
· 78 rpm
· 45 rpm
· 33 1/3 rpm
· 78 rpm dan 45 rpm biasanya berdiameter 25 cm,
· 33 1/3 rpm biasanya berdiameter 30 cm dan biasa disebut Long Play (LP),
· Plat ukuran sedang berdiameter 25 cm dengan kecepatan 33 1/3 rpm masih termasuk LP, tapi biasanya hanya berisi 4 lagu di setiap sisi,
· Plat ukuran 18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 yang memuat 1 lagu di tiap sisinya disebut Single Player
· Plat yang berisi 2 lagu di tiap sisinya disebut Extended Player.
78 rpm tidak diproduksi lagi sejak tahun 60an. Alat untuk memutar piringan hitam adalah phonograph. atau yang biasa disebut Turntable. Dengan menggunakan stylus yang berbentuk seperti jarum Stylus berfungsi untuk mencatat simpangan gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras suara.
Dari segi fisik, piringan hitam tidak ergonomis. Akan tetapi kelebihannya adalah tidak mudah rusak dan kwalitas suara yang sangat baik. Jadi selama platnya tidak baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang. Para musisi pada tahun 1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di side A dan side B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu mereka lebih memilih membuat single. Jadi kalaupun mereka membuat album, album hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng. Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format piringan hitam. Saat itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya. Tidak semua orang di Indonesia memiliki turntable dan Itulah yang menyebabkan piringan hitam kurang akrab dengan pendengar musik rekaman di Indonesia.
Piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.
The vinyl record is a type of gramophone record, most popular from the 1950s to the 1990s, that was most commonly used for mass-produced recordings of music.
A vinyl gramophone or phonograph record consists of a disc of polyvinyl chloride plastic, engraved on both sides with a single concentric spiral groove in which a sapphire or diamond needle, stylus, is intended to run, from the outside edge towards the centre (though it should be noted that on a very small number of albums, like "Goodbye Blue and White" by Less Than Jake, a hidden track, or the entire side, will be played from the centre out).
While a 78 rpm record is brittle and relatively easily broken, both the LP 33⅓ rpm record and the 45 rpm single records are made from vinyl plastic which is flexible and unbreakable in normal use. 78s come in a variety of sizes, the most common being 10 inch (25 cm) and 12 inch (30 cm) diameter, and these were originally sold in either paper or card covers, generally with a circular cutout allowing the record label to be seen. The Long-Playing records (LPs) usually come in a paper sleeve within a colour printed card jacket which also provides a track listing. 45 rpm singles and EPs (Extended Play) are of 7 inch (18 cm) diameter, the earlier copies being sold in paper covers. Grooves on a 78 rpm are much coarser than the LP and 45.
Piringan Hitam (Dalam Bahasa Indonesia)
Oleh: Kassaf
Piringan hitam mulai ada sejak tahun 1948. Dalam hitungan rpm (rotation per minute), ada tiga ukuran piringan hitam yaitu:
· 78 rpm
· 45 rpm
· 33 1/3 rpm
· 78 rpm dan 45 rpm biasanya berdiameter 25 cm,
· 33 1/3 rpm biasanya berdiameter 30 cm dan biasa disebut Long Play (LP),
· Plat ukuran sedang berdiameter 25 cm dengan kecepatan 33 1/3 rpm masih termasuk LP, tapi biasanya hanya berisi 4 lagu di setiap sisi,
· Plat ukuran 18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 yang memuat 1 lagu di tiap sisinya disebut Single Player
· Plat yang berisi 2 lagu di tiap sisinya disebut Extended Player.
78 rpm tidak diproduksi lagi sejak tahun 60an. Alat untuk memutar piringan hitam adalah phonograph. atau yang biasa disebut Turntable. Dengan menggunakan stylus yang berbentuk seperti jarum Stylus berfungsi untuk mencatat simpangan gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras suara.
Dari segi fisik, piringan hitam tidak ergonomis. Akan tetapi kelebihannya adalah tidak mudah rusak dan kwalitas suara yang sangat baik. Jadi selama platnya tidak baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang. Para musisi pada tahun 1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di side A dan side B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu mereka lebih memilih membuat single. Jadi kalaupun mereka membuat album, album hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng. Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format piringan hitam. Saat itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya. Tidak semua orang di Indonesia memiliki turntable dan Itulah yang menyebabkan piringan hitam kurang akrab dengan pendengar musik rekaman di Indonesia.
Piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.
No comments:
Post a Comment